
Sejumlah warga yang mengaku menjadi korban penyerobotan tanah mengadu ke Kantor Staf Kepresidenan (KSP) , Jakarta, Selasa (8/5/2018). Mereka didampingi Koordinator Koordinator Gesit Ampera Agus Muldya Natakusuma saat bertemu dengan Staf Ahli Madya Deputi IV KSP Rysepta Abimanyu.
Dalam rilisnya, Geit AMPERA menyatakan mendukung program reformasi agraria hingga dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut tidak cukup hanya dengan mempercepat proses sertifikasi terhadap tanah milik rakyat. Sebab , Gesit Ampera menemukan banyak terjadi di berbagai wilayah, tanah milik rakyat baik yang berstatus girik maupun sertifikat bisa dikuasai secara sepihak oleh pengusaha besar/konglomerat. Modus penyerobotan tanah tersebut hampir serupa di berbagai wilayah.
Modus tersebut antara lain: Girik /sertifikat milik rakyat digelapkan, dihilangkan dan dimanipulasi.BPN keluarkan SHGB baru. Warga ditantang gugat ke pengadilan meski hasilnya telah diprediksi menuai kekalahan. Lalu pengadilan dijadikan sebagai alat mengulur waktu, baik oleh BPN maupun pihak penyerobot tanah warga. Jika suatu hari terbongkar, kasus penyerobotan tanah seperti itu akan disiapkan kambing hitamnya. Padahal kasus tersebut adalah kesalahan oknum atau pegawai rendahan, sehingga mafia penyerobot tanah tidak terkena jerat hukum.
Tanah yang sejatinya tidak dibeli sesuai aturan, tetap digunakan dan dijual mahal. Sehingga jika kasusnya terbongkar, pihak tertentu telah memiliki keuntungan yang berlipat, dan tak merasakan kerugian apapun jika diharuskan membayar oleh pengadilan.BPN terindikasi bekerja sama dengan penyerobot tanah, karena menggunakan sarana yang sama, yaitu menyerahkan prosesnya ke Pengadilan.BPN sebetulnya punya kewenangan untuk membatalkan sertifikat yang nyata-nyata Maladministrasi tanpa melalui pengadilan.
Denga fakta-fakta tersebut maka Gesit Ampera meminta Presiden Jokowi dapat menggunakan kewenangannya sebagai kepala negara dan pemerintahan yang tengah memimpin program reformasi agraria untuk :
1. Mengingatkan Kepala BPN dan Jajaran agar tidak bersengkongkol dengan mafia tanah atau justru melindungi kepentingan penyerobot tanah.
2. Memerintahkan BPN agar menggunakan kewenangannya untuk membatalkan sertifikat jika nyata-nyata terjadi cacat administrasi dalam proses pembuatan sertifikat yang dilakukan oleh oknum BPN sendiri. Adalah janggal jika kesalahan dari oknum BPN sendiri baik sengaja maupun tidak, rakyat yang dirampas haknya justru disuruh membuang waktu dan biaya. Sebab sudah menjadi rahasia umum jika saat ini pun masih bercokol mafia peradilan dengan masih banyaknya aparat penegak hukum yg justru ditangkap kpk terkait jual beli perkara. Tetapi jika korban penyerobotan tanah sudah menang di pengadilan, tetap akan dipersulit oleh oknum BPN untuk memperoleh hak atas tanahya yang sudah berganti surat kepemilikan
3.jika presiden tidak mungkin mengintervensi peradilan maka saran bpn ke pengadilan adalah upaya cuci tangan sistematis atas kecerobohan oknumnya sendiri agar rakyat kesulitan memperoleh hak atas tanahnya sendiri. Padahal BPN berhak membatalkan sertifikat yg terbukti maladministrasi sesuai Peraturan Kepala BPN.
4. Jika kongkalingkog ini terus dibiarkan tanpa ada solusi maka jangan heran suatu saat nanti ratusan ribu sertifikat yg telah dibagikan presiden kepada rakyat dengan sangat mudah beralih menjadi shgn milik konglomerat. Selain itu, warga yang membeli rumah dari pengembang akan berhadapan dengan warga pemilik asal tanah, baik di jalanan maupun di pengadilan. Sementara para penyerobot tanah yang sudah meraup keuntungan berlimpah bisa membawa kabur uang hasil menjual tanah rampasan. Jika hal ini dibiarkan, reformasi agraria yang semula bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat ternyata justru malah mengabadikan penderitaan korban penyerobotan tanah.
Berikut sejumlah contoh kasus penyerobotan tanah yang terjadi tidak jauh dari Jakarta, Pusat Pemerintahan :
1. Tanah girik warga marunda bekasi, girik belum dijual tetapi puluhan ha tanah tsb sudah menjadi shgb konglomerat
2. Girik digelapkan dan sudah berkekuatan hukum tetap di Serpong, tiba2 jadi SHGB konglomerat.
3 tanah sertifikat digelapkan di bintaro, tetiba masuk kawasan shgb pengembang.
4. Tanah girik 45, seluas 65 ha garapan warga di cijeruk bogor tetiba manjadi shgb milik konglomerat, dan lain-lain.
Jika di jabodetabek hal ini bisa terjadi maka hal serupa pasti juga tejadi di wilayah lain. Bila tak segera diselesaikan kemungkinan yang akan terjadi : 1. Bukan hanya tdk adil bagi yg tanahnya dirampas tapi akan me ngadu domba masyarakat ketika pengembang sdh pergi dari lokasi spt yg terjadi pada perumahan Fahri hamzah, Wakil Ketua DPR . 2.membuat bank menjadi berisiko karena punya jaminan yang sesungguhnya masih bersengketa. 3.akan membuat mafia tanah terus meluas baik kelompok dan area kerjanya ke berbagai daerah dan akan membuat ketidakpastian hukum juga investasi.
Laporan Agam Wiftarenal dan Mahendra Dewanata
Leave your comment